Senin, 14 Mei 2012


ANGKA KEMATIAN IBU MASIH TINGGI DI JAWA TIMUR
untuk semuanya


Lebih dari seabad lalu Kartini lahir dan mengukir sejarah di negeri ini. Emansipasi wanita menggaung keras dari pemikirannya. Tapi, dua puluh lima tahun setelah kelahirannya, emansipasi yang disuarakannya belum belum berarti apa-apa. Kartini justru meninggal empat hari setelah menunaikan amanatnya sebagai wanita dan ibu yang melahirkan anak.

Kartini berbicara tentang beragam hak wanita yang kerap dikebiri saat itu. Tapi, dua puluh lima tahun rasanya belum cukup untuk menuntaskan harapannya. Pekerjaan rumah masih menumpuk hingga saat ini. Orang boleh berbicara banyak tentang hak wanita menduduki kursi eksekutif atau legislatif. Tapi, hak reproduksi wanita yang mendasar hingga kini belum juga terpenuhi.

Setelah seabad berlalu, kisah ibu-ibu Indonesia masih seperti Kartini. Bukan tentang perjuangan emansipasinya, tapi justru kematiannya. Setidaknya, data Dinas Kesehatan tahun 2007 menunjukkan bahwa angka kematian ibu (AKI) di Indonesia mencapai 290,8 per 100.000 kelahiran hidup. Meski sudah menunjukkan tren penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, angka tersebut masih jauh dari memuaskan. Indonesia masih menjadi negara dengan angka kematian ibu tertinggi di Asia Tenggara. Kematian tersebut dikarenakan karena perdarahan 30%,eklamsia 25%,infeksi 12%abortus 5%,komlikasi masa nifas 16%.
Menurut survey bulan Juni-Agustus didapatkan 112 persalinan,diantara 47 persalinan dengan jahitan luka perineum terdapat 114 atau 29,87%  mengalami penyembuhan luka lebih dari 7 hari  yang disebabkan kurang dalam melakukan vulva hygiene.hal ini menunjukan angka kejadian infeksi masih tinggi pada masa nifas


AKI didefinisikan sebagai banyaknya kematian perempuan saat hamil atau selama 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lama dan tempat persalinan akibat kehamilan atau pengelolaannya, dan bukan karena sebab lain. Angka ini dihitung per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini biasanya dipakai untuk memperlihatkan kualitas pembangunan kesehatan masyarakat sebuah negara.
Tingginya AKI di Indonesia mencerminkan belum terpenuhinya hak-hak reproduksi wanita Indonesia. Ada dua belas hak reproduksi wanita yang disepakati dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo tahun 1994. Hak-hak reproduksi tersebut meliputi (1) hak mendapat informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi, (2) hak mendapat pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi, (3) hak untuk kebebasan berpikir dan membuat keputusan tentang kesehatan reproduksinya, (4) hak untuk memutuskan jumlah dan jarak kelahiran anak, (5) hak untuk hidup dan terbebas dari risiko kematian karena kehamilan, kelahiran atau masalah jender, (6) hak atas kebebasan dan keamanan dalam pelayanan kesehatan reproduksi, (7) hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk yang menyangkut kesehatan reproduksi, (8) hak mendapatkan manfaat dari hasil kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan reproduksi, (9) hak atas kerahasiaan pribadi dalam menjalankan kehidupan reproduksinya, (10) hak untuk membangun dan merencanakan keluarga, (11) hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang bernuansa kesehatan reproduksi, dan (12) hak atas kebebasan dari segala bentuk diskriminasi dalam kesehatan reproduksi.
Faktor yang paling menonjol dalam hal ini adalah kebijakan pemerintah dalam membangun kesehatan masyarakat. Akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas masih terbatas dan tidak merata. Daerah pelosok yang jauh dari sentra pelayanan kesehatan sulit mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang memadai. Hal ini diperparah dengan minimnya jumlah tenaga kesehatan yang terampil dalam penanganan persalinan dan komplikasinya. Di samping itu, tingkat pengetahuan sebagian masyarakat tentang kehamilan dan persalinan masih rendah. Faktor ekonomi, perilaku, dan budaya juga menjadi faktor lain yang meningkatkan AKI di Indonesia.

Pemerintah menyadari bahwa AKI dan angka kematian bayi (AKB) merupakan ukuran sukses pembangunan kesehatan di suatu negara. Pada awal tahun 2008, Presiden menyatakan bahwa penurunan AKI dan AKB menjadi prioritas pemerintah dan pemerintah mencanangkan penurunan AKI hingga 226 per 100.000 kelahiran hidup. Namun, rencana tersebut masih jauh dari angka yang ditetapkan dalam Millenium Development Goals (MDGs), yakni 125 per 100.000 kelahiran hidup. Itikad baik pemerintah ini masih perlu disertai kerja keras dari segenap lini yang bertanggung jawab terhadap kesehatan masyarakat.

Dalam perkembangan birokrasi otonomi daerah saat ini, pemerintah daerah memiliki peran vital untuk mendukung pencapaian target pemerintah pusat. Anggaran kesehatan dalam APBN telah bertambah dari tahun ke tahun. Jika tahun 2005 kesehatan memperoleh kucuran dana sebesar 11,7 triliun, tahun 2006 naik menjadi 16,3 triliun, dan tahun 2007 naik lagi menjadi 22,1 triliun. Namun, diakui presiden bahwa 87% dari total anggaran kesehatan teralokasikan dan berada di pemerintah daerah. Maka, peran pemerintah daerah kini semakin besar untuk membangun kesehatan masyarakat daerahnya.

Salah satu peran pemerintah daerah dalam menurunkan AKI dan AKB adalah memberi perhatian khusus pada kesehatan ibu melahirkan yang hingga kini masih minim. Dari APBD kesehatan, hanya 0,085% yang diperuntukkan ke sektor kesehatan ibu melahirkan. Pelatihan tenaga kesehatan terampil pun masih kurang mendapat perhatian pemerintah, di samping minimnya pembangunan infrastruktur dan fasilitas kesehatan penunjang. Ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah, khususnya di daerah.

Kebijakan otonomi daerah saat ini memberi dua pilihan bagi pemerintah daerah setempat. Bisa jadi hasilnya membaik, namun bukan tidak mungkin hasilnya justru memburuk. Kabupaten Asmat, contohnya. Setelah menjadi kabupaten tersendiri hasil pemekaran kabupaten Merauke, AKI dan AKB di Asmat menjadi yang tertinggi di Indonesia. Penyebabnya banyak. Selain faktor geografis dan mahalnya transportasi, itikad baik pemerintah daerah pun dipertanyakan. Korupsi masih merajalela dan berpindah tempat ke daerah. Berdasarkan laporan BPK tahun 2004-2005, yang didapatkan justru adanya penyelewengan anggaran APBD kesehatan oleh pejabat pemerintah yang menyebabkan ketersediaan obat berkurang.

Di sisi lain, otonomi daerah juga dapat memberikan efek positif dalam penurunan AKI dan AKB. Efek positif ini terlihat di NTB. Setelah sempat meningkat pada tahun 2003, AKI di NTB menurun pada 2004, yakni 118 orang dan terus menurun pada tahun 2005 (108), 2006 (97), dan 2007 (95). Kabupaten Bone Bolango juga menunjukkan hal yang serupa. AKI yang semula mencapai 22 kematian (880/100.000 kelahiran hidup) di tahun 2006, turun menjadi lima kematian (198/100.000 kelahiran hidup) pada tahun 2007.

Sebenarnya, banyak program yang layak ditiru oleh pemerintah daerah untuk bersama-sama berjuang menurunkan AKI dan AKB. Di Bone Bolango, program rumah tunggu, desa siaga, dan puskesmas PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar) menjadi senjata yang cukup ampuh. Program P3K (Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi) pun berjalan dengan cukup baik. Tentunya, hal ini harus terus disinkronisasi dengan adanya kemauan pemerintah daerah untuk menggelontorkan biaya kesehatan yang bijak, termasuk untuk pembangunan fasilitas dan pelatihan tenaga kesehatan.

Dalam program pemerintah daerah, bukan tidak mungkin bila dukun beranak diikut sertakan. AKI dan AKB yang tinggi selama ini juga disebabkan oleh tradisi masyarakat, terutama daerah pelosok, yang masih menggunakan jasa dukun beranak yang kurang memahami persoalan medis dan penanganan kegawatdaruratan persalinan untuk menolong persalinannya. Pelatihan disertai koordinasi yang baik dengan pengawasan bidan, seperti yang diterapkan di NTB, merupakan bagian program yang baik untuk ditiru, tanpa harus menciptakan gejolak di masyarakat dengan tetap saling menghargai dan menjaga kemitraan.

Melihat masih tingginya AKI di Indonesia, pekerjaan pemerintah, baik pusat dan daerah, untuk membenahi sektor kesehatan masih cukup berat. Perlu akselerasi untuk mencapai target MDGs yang ditetapkan. Tentunya, pemenuhan hak-hak reproduksi wanita yang ditelurkan dalam berbagai kebijakan juga harus menjadi fokus perhatian.

Pekerjaan ini masih jauh dari tuntas. Kerja keras dari seluruh elemen masyarakat dibutuhkan untuk mewujudkan mimpi Kartini dan masyarakat Indonesia.


April, 2008
Ahmad Fuady
Kata kunci: as...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar