ANGKA KEMATIAN IBU
MASIH TINGGI DI JAWA TIMUR
untuk semuanya
|
Lebih dari seabad lalu Kartini lahir dan mengukir sejarah di
negeri ini. Emansipasi wanita menggaung keras dari pemikirannya. Tapi, dua
puluh lima tahun setelah kelahirannya, emansipasi yang disuarakannya belum
belum berarti apa-apa. Kartini justru meninggal empat hari setelah menunaikan
amanatnya sebagai wanita dan ibu yang melahirkan anak.
Kartini berbicara tentang beragam hak wanita yang kerap dikebiri
saat itu. Tapi, dua puluh lima tahun rasanya belum cukup untuk menuntaskan
harapannya. Pekerjaan rumah masih menumpuk hingga saat ini. Orang boleh
berbicara banyak tentang hak wanita menduduki kursi eksekutif atau legislatif.
Tapi, hak reproduksi wanita yang mendasar hingga kini belum juga terpenuhi.
Setelah seabad berlalu, kisah ibu-ibu Indonesia masih seperti
Kartini. Bukan tentang perjuangan emansipasinya, tapi justru kematiannya.
Setidaknya, data Dinas Kesehatan tahun 2007 menunjukkan bahwa angka kematian
ibu (AKI) di Indonesia mencapai 290,8 per 100.000 kelahiran hidup. Meski sudah
menunjukkan tren penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, angka tersebut
masih jauh dari memuaskan. Indonesia masih menjadi negara dengan angka kematian
ibu tertinggi di Asia Tenggara. Kematian tersebut dikarenakan karena perdarahan
30%,eklamsia 25%,infeksi 12%abortus 5%,komlikasi masa nifas 16%.
Menurut survey bulan Juni-Agustus didapatkan 112
persalinan,diantara 47 persalinan dengan jahitan luka perineum terdapat 114
atau 29,87% mengalami penyembuhan luka
lebih dari 7 hari yang disebabkan kurang
dalam melakukan vulva hygiene.hal ini menunjukan angka kejadian infeksi masih
tinggi pada masa nifas
AKI didefinisikan sebagai banyaknya kematian perempuan saat
hamil atau selama 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lama dan
tempat persalinan akibat kehamilan atau pengelolaannya, dan bukan karena sebab
lain. Angka ini dihitung per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini biasanya
dipakai untuk memperlihatkan kualitas pembangunan kesehatan masyarakat sebuah
negara.
Tingginya AKI di Indonesia mencerminkan belum
terpenuhinya hak-hak reproduksi wanita Indonesia. Ada dua belas hak reproduksi
wanita yang disepakati
dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo tahun
1994. Hak-hak reproduksi tersebut meliputi (1) hak mendapat informasi dan
pendidikan kesehatan reproduksi, (2) hak mendapat pelayanan dan perlindungan
kesehatan reproduksi, (3) hak untuk kebebasan berpikir dan membuat keputusan
tentang kesehatan reproduksinya, (4) hak untuk memutuskan jumlah dan jarak
kelahiran anak, (5) hak untuk hidup dan terbebas dari risiko kematian karena
kehamilan, kelahiran atau masalah jender, (6) hak atas kebebasan dan keamanan
dalam pelayanan kesehatan reproduksi, (7) hak untuk bebas dari penganiayaan dan
perlakuan buruk yang menyangkut kesehatan reproduksi, (8) hak mendapatkan
manfaat dari hasil kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan reproduksi,
(9) hak atas kerahasiaan pribadi dalam menjalankan kehidupan reproduksinya,
(10) hak untuk membangun dan merencanakan keluarga, (11) hak atas kebebasan
berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang bernuansa kesehatan reproduksi,
dan (12) hak atas kebebasan dari segala bentuk diskriminasi dalam kesehatan
reproduksi.
Faktor yang paling menonjol dalam hal ini adalah kebijakan
pemerintah dalam membangun kesehatan masyarakat. Akses terhadap pelayanan
kesehatan yang berkualitas masih terbatas dan tidak merata. Daerah pelosok yang
jauh dari sentra pelayanan kesehatan sulit mendapatkan akses pelayanan kesehatan
yang memadai. Hal ini diperparah dengan minimnya jumlah tenaga kesehatan yang
terampil dalam penanganan persalinan dan komplikasinya. Di samping itu, tingkat
pengetahuan sebagian masyarakat tentang kehamilan dan persalinan masih rendah.
Faktor ekonomi, perilaku, dan budaya juga menjadi faktor lain yang meningkatkan
AKI di Indonesia.
Pemerintah menyadari bahwa AKI dan angka kematian bayi (AKB)
merupakan ukuran sukses pembangunan kesehatan di suatu negara. Pada awal tahun
2008, Presiden menyatakan bahwa penurunan AKI dan AKB menjadi prioritas
pemerintah dan pemerintah mencanangkan penurunan AKI hingga 226 per 100.000
kelahiran hidup. Namun, rencana tersebut masih jauh dari angka yang ditetapkan
dalam Millenium Development Goals (MDGs), yakni 125 per
100.000 kelahiran hidup. Itikad baik pemerintah ini masih perlu disertai kerja
keras dari segenap lini yang bertanggung jawab terhadap kesehatan masyarakat.
Dalam perkembangan birokrasi otonomi daerah saat ini, pemerintah
daerah memiliki peran vital untuk mendukung pencapaian target pemerintah pusat.
Anggaran kesehatan dalam APBN telah bertambah dari tahun ke tahun. Jika tahun
2005 kesehatan memperoleh kucuran dana sebesar 11,7 triliun, tahun 2006 naik
menjadi 16,3 triliun, dan tahun 2007 naik lagi menjadi 22,1 triliun. Namun,
diakui presiden bahwa 87% dari total anggaran kesehatan teralokasikan dan
berada di pemerintah daerah. Maka, peran pemerintah daerah kini semakin besar
untuk membangun kesehatan masyarakat daerahnya.
Salah satu peran pemerintah daerah dalam menurunkan AKI dan AKB
adalah memberi perhatian khusus pada kesehatan ibu melahirkan yang hingga kini
masih minim. Dari APBD kesehatan, hanya 0,085% yang diperuntukkan ke sektor
kesehatan ibu melahirkan. Pelatihan tenaga kesehatan terampil pun masih kurang
mendapat perhatian pemerintah, di samping minimnya pembangunan infrastruktur
dan fasilitas kesehatan penunjang. Ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi
pemerintah, khususnya di daerah.
Kebijakan otonomi daerah saat ini memberi dua pilihan bagi
pemerintah daerah setempat. Bisa jadi hasilnya membaik, namun bukan tidak
mungkin hasilnya justru memburuk. Kabupaten Asmat, contohnya. Setelah menjadi
kabupaten tersendiri hasil pemekaran kabupaten Merauke, AKI dan AKB di Asmat
menjadi yang tertinggi di Indonesia. Penyebabnya banyak. Selain faktor
geografis dan mahalnya transportasi, itikad baik pemerintah daerah pun
dipertanyakan. Korupsi masih merajalela dan berpindah tempat ke daerah.
Berdasarkan laporan BPK tahun 2004-2005, yang didapatkan justru adanya
penyelewengan anggaran APBD kesehatan oleh pejabat pemerintah yang menyebabkan
ketersediaan obat berkurang.
Di sisi lain, otonomi daerah juga dapat memberikan efek positif
dalam penurunan AKI dan AKB. Efek positif ini terlihat di NTB. Setelah sempat
meningkat pada tahun 2003, AKI di NTB menurun pada 2004, yakni 118 orang dan
terus menurun pada tahun 2005 (108), 2006 (97), dan 2007 (95). Kabupaten Bone
Bolango juga menunjukkan hal yang serupa. AKI yang semula mencapai 22 kematian
(880/100.000 kelahiran hidup) di tahun 2006, turun menjadi lima kematian
(198/100.000 kelahiran hidup) pada tahun 2007.
Sebenarnya, banyak program yang layak ditiru oleh pemerintah
daerah untuk bersama-sama berjuang menurunkan AKI dan AKB. Di Bone Bolango,
program rumah tunggu, desa siaga, dan puskesmas PONED (Pelayanan Obstetri
Neonatal Emergensi Dasar) menjadi senjata yang cukup ampuh. Program P3K
(Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi) pun berjalan dengan cukup
baik. Tentunya, hal ini harus terus disinkronisasi dengan adanya kemauan
pemerintah daerah untuk menggelontorkan biaya kesehatan yang bijak, termasuk
untuk pembangunan fasilitas dan pelatihan tenaga kesehatan.
Dalam program pemerintah daerah, bukan tidak mungkin bila dukun
beranak diikut sertakan. AKI dan AKB yang tinggi selama ini juga disebabkan
oleh tradisi masyarakat, terutama daerah pelosok, yang masih menggunakan jasa
dukun beranak yang kurang memahami persoalan medis dan penanganan
kegawatdaruratan persalinan untuk menolong persalinannya. Pelatihan disertai
koordinasi yang baik dengan pengawasan bidan, seperti yang diterapkan di NTB,
merupakan bagian program yang baik untuk ditiru, tanpa harus menciptakan
gejolak di masyarakat dengan tetap saling menghargai dan menjaga kemitraan.
Melihat masih tingginya AKI di Indonesia, pekerjaan pemerintah,
baik pusat dan daerah, untuk membenahi sektor kesehatan masih cukup berat.
Perlu akselerasi untuk mencapai target MDGs yang ditetapkan. Tentunya,
pemenuhan hak-hak reproduksi wanita yang ditelurkan dalam berbagai kebijakan
juga harus menjadi fokus perhatian.
Pekerjaan ini masih jauh dari tuntas. Kerja keras dari seluruh
elemen masyarakat dibutuhkan untuk mewujudkan mimpi Kartini dan masyarakat
Indonesia.
April, 2008
Ahmad Fuady